Sabtu, 26 Januari 2013

SEDIAAN FARMASI

Bentuk Sediaan Obat


Apa itu obat ?
Obat : suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka, atau kelainan badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia. Bentuk sediaan obat

A. Obat bentuk sediaan padat

- KAPSUL
Kapsul adalah sediaan obat yangg terbungkus cangkang kapsul yang umumnya terbuat dari gelatine.
Kapsul dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Kapsul keras : umumnya berisikan bahan obat yang kering.
2. Kapsul lunak : umumnya bahan obat berupa minyak atau larutan. Obat dalam minyak.



Keuntungan :
a. Kapsul dapat menutupi rasa obat yg tidak enak, pahit, atau amis.
b. Bahan obat tunggal ataupun campuran dapat diberikan dalam kapsul, besarnya kapsul dipilih yg sesuai (nomor 000,00,0,1,2,3, 4 dan 5 )
c. Kapsul dapat pula dilapisi dengan bhn tertentu sehingga tidak pecah/ larut dalam lambung

- TABLET SALUT
TUJUAN PENYALUTAN:
1. Meningkatkan stbilitas obat
2. Menutupi rasa obat yang tidak enak
3. Menghindari penguapan zat atau bahan dalam tablet.
4. Memperbaiki penampilan tablet.
5. Merupakan identifikasi dari produk pabrik obat tertentu

MACAM-MACAM TABLET SALUT
1. Tablet salut selaput / film, contoh: Ponstan FCT 500 mg
2. Tablet Bersalut enterik, contih : Voltaren 50 mg
3. Tablet Salut gula (dragee) contoh : Vit . A

MACAM-MACAM TABLET
1. Tablet Lozenges (tablet dihisap seperti permen, sebagai antiseptik pada mukosa mulut atau tenggorokan
contoh : Dequalinium HCl
2. Tablet sublingual, diletakkan di bwh lidah, melarut lebih cepat dan bahan obat. diabsorpsi melalui mukosa.
contoh : Nitroglicerin.
3. Tablet Intrabuccal,dimasukkan di pipi bagian dalam, tablet melarut dan bahan diabsorbsi melalui mukosa.
contoh : Progesteron
4. Tablet Sustained release bahan obat dilepas perlahan-lahan
contoh : Isoptin SR,
5. Tablet yang dimasukkan ke dalam rongga-tubuh.
contoh : Nystatin tablet Vagina
6. Tablet implantasi : implant, diimplantasikan di bwh kulit
Contoh : Norplant

BENTUK TABLET
1. Tablet berbentuk pipih
2. Tablet Berbentuk bulat
3. Tablet berbentuk persegi .
4. Tablet yang pakai tanda belahan (scoret tablet , memudahkan untuk membagi tablet)

B. Obat bentuk sediaan cair


Dibedakan :
1. Obat luar : Contoh : Tantum verde obat kumur mengandung Benzamidin HCl
2. Obat suntik :
a. obat suntik iv : larutan dalam air
b. Obat suntik sc: berupa larutan dalam air
c. Obat suntik im:larutan dalam air ataupun dalam minyak , juga dapat berupa suspensi
3. Obat minum :solutio, mixtura dan elixer, suspensi, emulsi, saturasi dan sirupus.
4. Obat tetes :dapat diberikan untuk obat minum atau obat luar, pemakaiannya dengan alat penetes Obat tetes untuk pemakaian obat luar berupa : Guttae ophtalmicae (tetes mata), Guttae nasales (tetes hidung ), Guttae auriculares (tetes telinga)

C. Obat bentuk sediaan setengah padat
Menurut karakteristik fisik konsistensinya , obat yg digunakan pada kulit dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
a. Cairan kental atau encer : liniment
b. Setengah padat: cream, pasta
c. Lebih padat : sapo medicatus, emplastrum

LINIMENTUM


Adalah bentuk sediaan kental atau cair yang dioleskan pada kulit Liniment dapat berupa emulsi atau larutan zat berkhasiat dalam minyak/lemak.
Sediaan liniment umumnya tidak diberikan pada kulit yang luka atau kulit terbuka.
Keuntungan liniment dibandingkan dengan ungt: lebih mudah dicuci dari kulit dan penetrasi dari bahan obat lebih baik dari sediaan ungt.
R/ Methyl.Salicyl 60
Ol.Cayuputi 20
Inf. Hyoscyami oleos 20
Chloroform 20

UNGUENTUM / SALEP


Salep menurut FI IV adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.Contoh Salep 2-4, Garamicyn salep mata

PASTAE/PASTA


Pastae menurut FI IV adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal. contoh: Solcoseryl Pasta


CREAM/KRIM


Krim menurut FI IV adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Contoh: Kalcinol-N cream,Topsy cream
Tipe krim ada 2 : krim o/w atau krim w/o

GEL/JELLY

Gel kadang –kadang disebut jeli menurut FI IV, merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama dalam cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan cairan.
Contoh : Bioplacenton gel, Thrombophob gel

Investigation on drug dosage form : analysis of prescriptions available in pharmacy in kotamadya Yogyakarta

Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang analisis resep racikan yang
beredar di kotamadya Yogyakarta. Analisis resep racikan meliputi masalah
pembuatan bentuk sediaan serta kajian bentuk sediaan; obat serta bahanbahan
obat yang tercantum di dalam resep racikan. Penelitian dilakukan
dengan cara sampling resep racikan di apotek-apotek wilayah kotamadya
Yogyakarta. Kuisioner dan wawancara terhadap apoteker pengelola apotek
dilakukan untuk mendukung data dokumen resep.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk sediaan padat
(serbuk/serbuk dalam kapsul) mendominasi resep resep racikan (71%),
dengan penggerusan sediaan tablet mewarnai masalah dalam pencampuran
dan pembuatan bentuk sediaan. Obat paten (74%) yang ditulis dalam resep
racikan lebih banyak daripada bahan obat generik. Bahan obat generik yang
paling sering ditambahkan adalah CTM (chlorpheniramin maleat). Indikasi
pengobatan dari resep racikan mayoritas ditujukan untuk pengobatan asma,
infeksi dan alergi.
Hasil dari kuisioner menunjukkan bahwa bentuk sediaan salep paling
menimbulkan masalah (69%) dalam pembuatan bentuk sediaan. Kesulitan
pembuatan bentuk sediaan semi padat terutama timbul pada pencampuran
dengan asam salisilat. Analisis resep menunjukkan bahwa terdapat 14,2 %
resep yang mengandung asam salisilat dicampur dengan krim, serta ada
26,5% resep racikan yang mengandung asam salisilat yang dicampur dengan
berbagai macam obat maupun bentuk sediaan lainnya.
Bentuk sediaan cair paling sedikit (7,2%) ditulis dalam resep racikan,
namun problem tetap ada terutama karena penggerusan sediaan tablet serta
pencampuran ke dalam bentuk sediaan cair.
Kata kunci : resep, apotik, sediaan, Yogyakarta
Abstract
The analysis of dispensing prescriptions available in Pharmacy in
Yogyakarta was performed. The analysis included observation problems of
dosage form preparations, and examination compounds of medicines which
were mentioned in dispensing prescriptions. The study was conducted by
sampling dispensing prescriptions from the pharmacy located in Yogyakarta.
Questionnaires and interviews to pharmacists were also conducted in order to
support the presription data.
The result showed that the oral solid dosage forms were the majority
(71%) of dispensing prescriptions written. tablet crushing wwas the major
problems of. The majority objective of therapy with this type of dispensing
were for asthma, infection and alergy. It was also found that brand names
(74%) medicine were more written than generic names. The most generic
name written/added was CTM (chlorpheniramin maleat).
Results of questionnaire evaluation showed that semi solid
(unguentum, cream) was the major problem (69%) of pharmaceutical
dispensing in the Pharmacy. Dispensing Salicylic acid with other semi solids
were the most problems.
Prescription analysis showed that about 14,2% dispensing
prescriptions contain salycilic acid mixed with cream, and 26,5% dispense
prescriptions contains salycilic acid mixed with any kinds of drugs or other
semi solid forms. Liquid were the minor (7,2%) dispensing prescriptions
written by physicians. However problems were still remain caused by
crushing coated tablets and dispensing to the liquid.
Keywords : prescription, pharmaceutical stores, dosage forms, Yogyakarta

Pendahuluan
Suatu resep selain isi resep harus ada
nama obat dan dosisnya, pencantuman bentuk
sediaan juga merupakan hal yang penting dalam
penulisannya. Pemilihan bentuk sediaan obat
tidak dapat diserahkan kepada apotek, tetapi
merupakan kewajiban dari dokter untuk
menentukan bentuk sediaan yang paling sesuai
bagi pasien (Harjono dan Farida, 1999).
Ketidakrasionalan penulisan resep
dapat terjadi bila manfaat yang didapat tidak
sebanding dengan kemungkinan resiko atau
Maya yang harus dikeluarkan oleh pasien
(Santoso,1996). Pemakaian obat yang tidak
rasional merupakan masalah yang cukup serius
dalam pelayanan kesehatan oleh karena
kemungkinan dampaknya yang sangat luas.
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila
memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Kriteria ini dapat bervariasi tergantung
interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak
mencakup hal-hal berikut: ketepatan indikasi,
ketepatan, pemilihan obat, ketepatan cara
pemakaian obat, ketepatan penilaian terhadap
kondisi pasien (Santoso, 1996).
Bentuk sediaan obat tertentu dipilih
demi kenyamanan serta meningkatkan
compliance dan tercapainya keberhasilan terapi.
Namun, terdapat beberapa resep yang
menunjukkan ketidakrasionalan. Misalnya
(Harjono dan Farida, 1999):
R/ Ampicillin 125 mg
Pehachlor ½ tab
Bekamin 10 ½ dragee
mf caps dtd No. X
S 3 dd caps 1
Dragee merupakan bentuk sediaan
tablet bersalut gula, bersama-sama obat
lainnya seperti, tablet, dijadikan puyer. Hal ini
mengalami kesulitan karena dragee tidak dapat
digerus menjadi lembut dan masih berbentuk
partikel-partikel kasar dan tidak dapat
homogen, dengan demikian ukuran dosis
dapat menjadi tidak tepat (Harjono dan Farida,
1999). Demikian pula tablet dan dragee
dijadikan bentuk kapsul juga tidak dapat
karena dragee mengandung gula yang
hygroskopis, sehingga bentuk capsul yang
diinginkan akan cepat menjadi lunak.
Pergeseran sasaran aksi obat dapat terjadi pada
permintaan obat suatu resep.
Misalnya (Fudholi, 2000) :
R/ Erysanbe chew tab ½
CTM mg 2
Cortidex tab ½
Aminophilin mg 45
SL qs
mf pulv dtd No. XV
Erysanbe Chewable tablet, umumnya
mengandung 20-60% Sukrosa (Danish and
Kottke, 1996) sebenarnya dibuat oleh industri
farmasi dengan tujuan agar tablet dapat dipecah
secara pelan dan, obat cepat diabsorpsi didalam
mulut dengan menimbulkan rasa yang enak
tanpa meninggalkan rasa pahit. Namun dalam
resep di atas obat diminta untuk digerus dan
dijadikan puyer. Dalam hal ini terjadi
pergeseran aksi absorpsi obat yang seharusnya
di mulut menjadi terabsorpsi di lambung atau
usus (Fudholi, 2000).
Naiknya efek samping atau bahkan
toksisitas dapat terjadi bila melakukan
penggerusan / perubahan bentuk sediaan suatu obat. Penggerusan obat yang disalut enterik
akan merusak obat yang semestinya dijaga agar
obat tidak mengiritasi lambung. Penggerusan
obat yang berefek carsinogenic dapat
menyebabkan terkontaminasinya udara karena
pecahnya partikel obat yang akan berakibat bagi
pekerja kesehatan (Mitschell, 1996).
Dalam hal peningkatan biaya
pengobatan, hal ini jelas terlihat karena dalam
membuat suatu sediaan obat, industri farmasi
tentu saja telah melakukan beberapa tahapan
dari sintesa obat, formulasi sampai dengan
beberapa pengujian bentuk sediaan sebelum
obat dipasarkan (Lachman et al, 1989). Tahapan
tersebut tentu saja berpengaruh dalam harga
suatu obat.
Sediaan obat tersusun dari komponenkomponen
yaitu zat aktif (obat) dan bahan
tambahan. Pada pemakaian oral, proses
penghantaran obat sampai memberikan efek
farmakologis melalui 3 fase yaitu fase
farmasetik, fase farmakokinetik dan fase
farmakodinamik (Ariens, 1973). Fase farmasetis
merupakan fase hancurnya suatu sediaan
(misalnya tablet) di saluran pencernaan diikuti
oleh fase pelepasan zat aktifnya dan kemudian
terjadi fase pelarutan zat aktif. Ketersediaan
farmasetis ini ditentukan antara lain oleh
formulasi sediaan obatnya.
Yang tercakup dalam formulasi adalah
senyawa aktif (kualitatif dan kuantitatif), bahan
tambahan/penolong (kualitatif dan kuantitatif),
metode dan proses pembuatan dan pengemas
(Soebagyo, 2000). Tujuan formulasi, dengan
memperhatikan ketersediaan hayati, adalah
untuk menghasilkan penghantar obat yang
dalam setiap unitnya mengandung sejumlah
obat (zat aktif) yang sesuai dengan yang
diperlukan, dan dapat melepaskan obatnya
untuk menghasilkan onset, intensitas dan durasi
efek obat sesuai yang diharapkan (Smith and
Williams, 1983).
Beberapa pertimbangan sudah
dilakukan suatu industri farmasi dalam
membuat suatu bentuk sediaan obat. Namun
seperti terlihat dalam suatu resep, sering terjadi
permintaan dari penulis resep untuk melakukan
perubahan bentuk sediaan obat. Hal ini akan
terjadi inefisiensi penggunaan formula yang
baik dari suatu bentuk sediaan, disamping penghilangan terhadap fungsi eksipien yang
diharapkan (Pifferi et al, 1999).
Metodologi
Bahan
Dokumentasi resep, kuisioner dan
wawancara
Jalan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara survei langsung (observasi), yaitu
dengan: pengambilan sampel resep-resep racikan
yang masuk ke apotek yang terpilih sebagai sample;
pengisian kuisioner yang dilakukan oleh para
apoteker dan wawancara dengan beberapa apoteker.
Pertama, penentuan jumlah sampel resep
racikan. Sebagai unit analisis adalah wawancara
dengan beberapa apoteker resep racikan yang masuk
di apotek-apotek wilayah kotamadya Yogyakarta.
Menurut data dari Dinas Kesehatan Kotamadya
Yogyakarta per Januan 2001, terdapat 71 unit apotek
yang tersebar dalam 14 kecamatan (tidak termasuk
unit pelayanan obat di rumah sakit). Langkah
selanjutnya adalah mengasumsikan jumlah resep
racikan yang masuk ke apotek-apotek di kotamadya
Yogyakarta per bulan. Dari data laporan obat
genenk tahun 2000 DepKes DIY, jumlah resep yang
masuk ke apotek kotamadya Yogyakarta ada
51.989/bulan dan laporan 54 apotek. Diasumsikan
jumlah lembar resep yang masuk di kotamadya
Yogyakarta di 71 apotek menjadi 68.356 lembar per
bulan. Dari survei awal dan informasi beberapa
apotek ternyata jumlah resep racikan rata-rata ±15
20% dari total resep yang masuk. Hasil ini
digunakan untuk menentukan jumlah sampel resep
racikan yang akan diambil dengan menggunakan
rumus (Pudjirahardjo dkk, 1993);
N x Z2 x p x q
n = --------------------------------------
d2 x(N-1) + Z2 x p x q
Keterangan:
n : besar sampel
N : besar populasi (jumlah populasi acuan)
Z : nilai standar normal yang besarnya
tergantung 
p : probabilitas suatu kejadian (prosentase
taksiran hal yang akan diteliti) jika tidak
diketahui dianggap 50%q : 100%-p
d : besarnya penyimpangan yang masih bisa
ditolerir

Apabila diambil  = 0,05 dan d 3% maka:
n dihasilkan = 989.91embar resep racikan per
bulan. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang
representatif, selanjutnya jumlah sampel resep
dibagi dalam 14 daerah demografi kecamatan.
Setiap kecamatan diambil 70 resep racikan.
Pengambilan sampel dibatasi dalam
jumlah, bukan dalam waktu, karena yang terpenting
disini mengevaluasi resep, dan resep lebih
dipengaruhi oleh daerah dimana resep beredar bila
dibandingkan dengan waktu (Haryono dan Farida,
1999).
Setiap kecamatan diambil satu apotek
secara simple random sampling untuk mendapatkan
sampel resep racikan. Pada penelitian ini sampel
resep diambil mulai pada bulan Mei 2001, yaitu
waktu yang paling mendekati penelitian ini sesuai
dengan proposal penelitian.
Kedua, dilakukan penyebaran kuisioner.
Ada 2 aspek tujuan dari pembuatan dan
penyebaran kuisioner kepada para dispenser, aspek
pertama adalah sebagai pendukung data dokumen
resep. Aspek kedua adalah untuk mengetahui
bagaimana tindakan/sikap dari para apoteker
Ketiga, dilakukan wawancara kepada para
dispenser sebagai pelengkap data dari hal-hal yang
mungkin belum terungkap melalui kedua metode di
atas.
Cara Analisis
Data yang didapat dianalisa secara
deskriptif.
Hasil Dan Pembahasan
Dari hasil penelitian sampling resep
racikan di daerah kotamadya Yogyakarta
dengan 12 apotek sample yang didapat, masingmasing
apotek diambil 75 resep racikan
diketahui bahwa resep racikan yang
menghendaki pembuatan sediaan obat berupa
bentuk serbuk/pulveres, adalah yang paling
dominan (71%). Sedangkan lainnya adalah
permintaan bentuk sediaan semi padat (21.8%)
ataupun cair (7,2%). Kajian terhadap resepresep
racikan bentuk serbuk diketahui bahwa
permintaan penggerusan tablet dari suatu
produk paten mendominasi penulisan resep
racikan (74%). Namun beberapa jenis bahan
obat generik sering juga ada atau ditambahkan
dalam suatu campuran serbuk. Beberapa jenis
bahan obat generik yang paling sering ditulis
dalam resep racikan tercantum di Tabel I
Meskipun apa yang ditulis merupakan
bahan obat, namun penulis resep sermg
menyebutkan satuannya dalam bentuk "tablet"
bukan dalam bentuk bobot (g/mg).
Dispenser/peracik obat pun lebih cenderung
mengambil obat dari suatu sediaan tablet.
Adapun dari hasil wawancara dengan para
apoteker, alasan memilih bentuk tablet adalah :
1. Harga bahan obat serbuk relatif tidak begitu
terpaut jauh dengan bentuk sediaan tablet,
bahkan untuk bentuk sediaan serbuk harga
terkadang lebih mahal.
2. Pembeliaan bentuk serbuk harus dalam
jumlah tertentu/banyak, hal ini tidak
sebanding dengan jumlah penggunaan dalam
resep.
3. Stabilitas selama penyimpanan
4. Efisiensi waktu, perlu "penimbangan" bila
digunakan bentuk serbuk.
Masalah inipun juga terjadi pada
penulisan resep racikan dari obat paten. Selama
ini belum banyak sediaan serbuk yang
dipatenkan. Dokter menulis permintaan nama
obat tablet paten yang dibuat suatu racikan
berarti harus dilakukan penggerusan sediaan
tersebut. Tabel II.
Proses pembuatan sediaan obat jadi di
Industri Farmasi dapat direalisir setelah melalui
proses yang panjang. Mulai dari skala
laboratorium, analisis bahan, stabilitas, dan lainlain
hingga menjadi suatu formula yang dapat
diproduksi dalam skala industri (Fudholi, 1999).
Setiap formula terdiri dari bahan obat dan
No. Bahan obat          No Bahan obat
1 CTM                        11 Vitamin B6
2 Prednison                 12 Rifampisin
3 Phenobarbital           13 Dextromethorphan
4 Dexamethason         14 Salbutamol
5 Aminophillin            15 Ephedrin
6 Theofilin                   16 Diazepam
7 Parasetamol               17 Vitamin C
8 Glyceril guaiacolat    18 Ambroxol
9 Papaverin                   19 Vitamin B 1
10 Amoxicillin              20 Antalgin
Tabel I. Bahan obat yang sering ditulis di resep
racikan bentuk serbuk

No. Nama obat Bahan aktif Nama pabrik
1. Epexol Ambroksol Sanbe Farma
2. Amoxsan Amoksisilin Sanbe Farma
3. Lameson Metil prednisolon Lapi
4. Trifed - Tripolidina HCl
- Pseudoefedrin HCl Interbat
5. Suprazid Isoniazide Ponco
Vitamin B6 Kalbe Farma
6. Transbroncho Ambroksol
7. Cobazym Koenzym B12 Interbat
8. Operma Siproheptadine Interbat
9. Bricasma Terbutaline sulfas Astra Zeneca
10. Kalmoxycillin Amoksisilin Kalbe Farma
11. Histapan Mebhidrolina Sanbe Farma
12. Opithrocin Eritromisin Otto
13. Meptin Prokaterol Otsuka
14. Erysanbe eritromisin Sanbe Farma
15. Tremenza - Tripolidina
- pseudoefedrine Sanbe Farma
eksipien. Penambahan eksipien antara lain
dimaksudkan agar obat dapat memenuhi
persyaratan fisis, ketersediaan farmasetis.
Racikan serbuk seringkali
menggunakan bahan-bahan obat yang
terkandung di dalam obat paten (Tabel III).
Tabel III. Bahan obat dari sediaan paten yang sering
ada di resep racikan serbuk.
Sedangkan bila dikaji dari indeks
farmakoterapinya, maka obat yang digunakan
untuk pengobatan asma adalah yang paling
sering diminta untuk disediakan dalam bentuk
racikan baik menjadi serbuk ataupun yang
selanjutnya di kapsul (Tabel IV).
Bila ditinjau dari hasil kuisioner
menunjukkan bahwa 69% responden
menyatakan bahwa bentuk sediaan salap/semi
padat adalah bentuk sediaan dari racikan yang
paling sering menimbulkan masalah/kesulitan.
Problem yang sering muncul adalah salap
menjadi tidak dapat campur homogen, keluar
airnya. Kesulitan timbul terutama bila harus
mencampurkan asam salisilat dengan bentuk
sediaan krim / dan bahan obat/bentuk sediaan
lainnya.
Dari hasil analisis resep bentuk sediaan
semi padat menunjukkan bahwa terdapat
pencampuran salap dengan krim (6,9%),
bermacam-macam krem (19,6%), asam salisilat
dengan krem ataupun bermacam-macam bahan
obat dan bentuk sediaan semi padat lainnya
(26,5%). Kesulitan timbul disebabkan antara
lain karena informasi tentang jenis basis yang
digunakan dari bentuk sediaan salap maupun
krem kurang lengkap, dan di apotek kurang
banyak jenis bahan pengemulsi yang disediakan.
Sebaliknya industri farmasi menulis secara jelas
basisnya atau bila tidak memungkinkan maka
memberikan peringatan tertentu apabila sediaan
yang dibuatnya tidak boleh dicampur bahan
lainnya. Dari analisis sampel resep yang
dilakukan di apotek dalam wilayah kotamadya
Yogyakarta menunjukkan bahwa asam salisilat
No. Bahan obat No Bahan obat
1 Ambroxol 11 Siproheptadin
2 Amoxicillin 12 Ketokonasol
3 Pseudo efedrin 13 Koensim B12
4 Tripolidine 14 Dexamethason
5 Vitamin B6 15 Terbutalin
6 Isoniasid 16 Betametason
7 Parasetamol 17 Desklorfeniramin
8 Eritromisin 18 Ketotifen
9 Metil prednisolon 19 Na fenitoin
10 Mebhidrolina 20 Pizotifen

adalah bahan obat yang paling sering (46,15%)
dicampurkan dengan sediaan semi padat
lainnya. Sedangkan bahan obat yang lainnya
antara lain adalah retroshin, licadet, hidrokortison,
ZnO, sulfur praecipitatum.
Jenis obat paten yang sering dibuat
campuran sangat beragam antara lain Inerson
(Interbat), Ikaderm (Ikapharmindo),
Topcort® (Sanbe Farma), dan lain-lain. Tujuan
terapi yang paling sering diharapkan adalah
untuk anti radang topikal (misal: betametason).
Resep racikan bentuk sediaan cair
merupakan jumlah yang paling sedikit (7,2%)
ditulis. Problem yang sering muncul seperti juga
sediaan serbuk adalah penggerusan dari suatu
bentuk tablet salut. Problem lainnya adalah
pada pembuatan suspensi, bahan zat padat
menjadi mengkristal bila dicampurkan ke dalam
pelarut/zat cairnya meskipun suatu bahan
pensuspensi sudah ditambahkan.
Hasil wawancara juga menyatakan
bahwa banyaknya jenis bahan/obat yang diracik
akan meningkatkan masalah pada pembuatan
bentuk sediaan obat.
Dari hasil analisis resep racikan,
kuisioner dan wawancara di beberapa apotek
wilayah kotamadya Yogyakarta, maka dapat
diketahui bahwa pembuatan sediaan obat dari
suatu resep racikan masih sering timbul
berbagai macam masalah. Penggerusan
berbagai jenis tablet, pencampuran berbagai
macam obat mewamai masalah dalam membuat
sediaan resep racikan. Secara nyata pengubahan
bentuk sediaan untuk diracik kembali akan
berarti (Fudholi, 2000):
1. Eliminasi maksud sasaran sediaan produk
jadi.
2. Peniadaan fungsi penggunaan bahan
tambahan/eksipien.
3. Penghapusan fungsi dan kemanfaatan
metode dan teknologi farmasi
4. Peningkatan harga obat.
Untuk menghindari kejadian ini
sebaiknya industri farmasi memberikan
informasi yang jelas tentang bentuk sediaan yang
dibuat atau memberikan peringatan khusus
apabila obat tersebut tidak boleh dicampurkan
dengan bahan obat tertentu lainnya, hal ini
ditujukan untuk apotek dan dokter, atau
pengguna.
Kesimpulan
Resep racikan bentuk sediaan padat
(serbuk / serbuk dibuat kapsul) merupakan
bentuk sediaan yang paling sering ditulis.
Permasalahan yang paling sering timbul (71,5%)
adalah penggerusan berbagai bentuk sediaan
tablet Penggerusan/peracikan yang
menimbulkan masalah terjadi pada bentuk
sediaan tablet salut (7%), kaplet (7,7%), dulcet
(1,8%), chewable (3%), sediaan mengandung ensim
(0,008%), dan sustained release (0,005%)
Obat paten (74%) lebih banyak ditulis
dalam resep racikan dari pada obat generik.
Mayoritas penulisan resep racikan bentuk serbuk
ditujukan. untuk pengobatan asma, infeksi dan

Physical Chemical and Biopharmaceutical Principles in the Pharmaceutical Sciences

DISCLAIMER
Care has been taken to confirm the accuracy of the information present and to describe generally
accepted practices. However, the authors, editors, and publisher are not responsible for errors or
omissions or for any consequences from application of the information in this book and make no
warranty, expressed or implied, with respect to the currency, completeness, or accuracy of the contents
of the publication. Application of this information in a particular situation remains the professional
responsibility of the practitioner; the clinical treatments described and recommended may not be
considered absolute and universal recommendations.
The authors, editors, and publisher have exerted every effort to ensure that drug selection and
dosage set forth in this text are in accordance with the current recommendations and practice at the
time of publication. However, in viewof ongoing research, changes in government regulations, and the
constant flow of information relating to drug therapy and drug reactions, the reader is urged to check
the package insert for each drug for any change in indications and dosage and for added warnings
and precautions. This is particularly important when the recommended agent is a new or infrequently
employed drug.
Some drugs and medical devices presented in this publication have Food and Drug Administration
(FDA) clearance for limited use in restricted research settings. It is the responsibility of the health
care providers to ascertain the FDA status of each drug or device planned for use in their clinical
practice.
To purchase additional copies of this book, call our customer service department at (800) 638-3030
or fax orders to (301) 223-2320. International customers should call (301) 223-2300.
Visit Lippincott Williams & Wilkins on the Internet: at http://www.lww.com. Lippincott Williams &
Wilkins customer service representatives are available from 8:30 am to 6:00 pm, EST.

ALFRED N. MARTIN (1919–2003)
This fiftieth anniversary edition of Martin’s Physical Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences is dedicated to the memory
of Professor Alfred N. Martin, whose vision, creativity,
dedication, and untiring effort and attention to detail led to
the publication of the first edition in 1960. Because of his
national reputation as a leader and pioneer in the then emerging
specialty of physical pharmacy, I made the decision to
join Professor Martin’s group of graduate students at Purdue
University in 1960 and had the opportunity to witness
the excitement and the many accolades of colleagues from
far and near that accompanied the publication of the first
edition of Physical Pharmacy. The completion of that work
represented the culmination of countless hours of painstaking
study, research, documentation, and revision on the part
of Dr. Martin, many of his graduate students, and his wife,
Mary, who typed the original manuscript. It also represented
the fruition of Professor Martin’s dream of a textbook that
would revolutionize pharmaceutical education and research.
Physical Pharmacy was for Professor Martin truly a labor of
love, and it remained so throughout his lifetime, as heworked
unceasingly and with steadfast dedication on the subsequent
revisions of the book.
The publication of the first edition of Physical Pharmacy
generated broad excitement throughout the national and international
academic and industrial research communities in
pharmacy and the pharmaceutical sciences. Itwas theworld’s
first textbook in the emerging discipline of physical pharmacy
and has remained the “gold standard” textbook on the application
of physical chemical principles in pharmacy and the
pharmaceutical sciences. Physical Pharmacy, upon its publication
in 1960, provided great clarity and definition to a discipline
that had been widely discussed throughout the 1950s
but not fully understood or adopted. Alfred Martin’s Physical
Pharmacy had a profound effect in shaping the direction
of research and education throughout the world of pharmaceutical
education and research in the pharmaceutical industry
and academia. The publication of this book transformed
pharmacy and pharmaceutical research from an essentially
empirical mix of art and descriptive science to a quantitative
application of fundamental physical and chemical scientific
principles to pharmaceutical systems and dosage forms.
Physical Pharmacy literally changed the direction, scope,
focus, and philosophy of pharmaceutical education during the
1960s and the 1970s and paved the way for the specialty disciplines
of biopharmaceutics and pharmacokinetics which,
along with physical pharmacy, were necessary underpinnings
of a scientifically based clinical emphasis in the teaching of
pharmacy students, which is now pervasive throughout pharmaceutical
education.
From the time of the initial publication of Physical Pharmacy
to the present, this pivotal and classic book has been
widely used both as a teaching textbook and as an indispensible
reference for academic and industrial researchers in
the pharmaceutical sciences throughout the world. This sixth
edition of Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences serves as a most fitting tribute to the extraordinary,
heroic, and inspired vision and dedication of Professor Martin.
That this book continues to be a valuable and widely
used textbook in schools and colleges of pharmacy throughout
the world, and a valuable reference to pharmaceutical
scientists and researchers, is a most appropriate recognition
of the life’s work of Alfred Martin. All who have contributed
to the thorough revision that has resulted in the publication
of the current edition have retained the original format and
fundamental organization of basic principles and topics that
were the hallmarks of Professor Martin’s classic first edition
of this seminal book.
Professor Martin always demanded the best of himself, his
students, and his colleagues. The fact that the subsequent and
current editions of Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences have remained faithful to his vision of
scientific excellence as applied to understanding and applying
the principles underlying the pharmaceutical sciences is
indeed a most appropriate tribute to Professor Martin’s memory.
It is in that spirit that this fiftieth anniversary edition is
formally dedicated to the memory of that visionary and creative
pioneer in the discipline of physical pharmacy, Alfred
N. Martin.
John L. Colaizzi, PhD
Rutgers, The State University of New Jersey
Piscataway, New Jersey
November 2009
iv